Idealnya sebuah hukum yaitu hukum yang mengikuti perkembangan zaman, terus bergerak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini.
Saat ini seperti diketahui bersama bahwa Indonesia termasuk Aceh sedang mengalami pandemi Covid-19, yang mengakibatkan masyarakat terbatas dalam melakukan kegiatannya. Selain terhambatnya kegiatan masyarakat pandemi Covid-19 ini membuat sistem roda pemerintahan serta pelayanan menjadi terhambat khususnya Kota Banda Aceh, apalagi saat ini Kota Banda Aceh merupakan salah satu Kota di Indonesia yang diterapkan PPKM darurat yang semakin membatasi kegiatan masyarakat di luar.
Sebagai contoh saat ini Kota Banda Aceh akan melakukan pemilihan keuchik, dengan keadaan seperti ini pastinya sangat menyulitkan, dikarenakan pemilihan keuchik di Kota Banda Aceh masih menggunakan cara manual yang dapat mengakibatkan pelanggaran protokoler kesehatan, seperti terjadinya kerumunan, jaga jarak dan lain sebagainya. Sehingga ini bisa berakibat fatal. Sehingga sudah seharusnya untuk ditemukannya solusi atau inovasi terbaik untuk pemilihan keuchik yang sesuai dengan kondisi dan situasi saat ini serta sesuai dengan perkembangan zaman.
Satu cara yang terbaik dalam pemilihan keuchik saat ini adalah dengan menggunakan e-voting, selain sesuai dengan kondisi pandemi Covid-19 dengan cara e-voting ini juga akan memberikan efektif waktu dan efesien anggaran serta sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini. dan tidak sedikit daerah lain di luar Aceh yang sudah melakukan pemilihan keuchik (kepala desa) yang sudah menggunakan e-voting seperti Kabupaten Sidoarjo, Kota Ambon, Kabupaten Jembrana, Sleman dan lmasih banyak daerah lain.
Pada tahun 2020 komisi I DPRK Banda Aceh telah mengajukan untuk dibentuknya Rancangan Qanun Kota Banda Aceh tentang Pemilihan Keuchik Serentak dengan menggunakan e-voting. Akan tetapi, Rancangan Qanun tersebut batal untuk dibentuk, karena secara hukum bertentangan dengan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik di Aceh.
Secara yuridis, landasan hukum untuk pemilihan keuchik di Aceh tunduk dalam Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik di Aceh yang merupakan perintah dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tetang Pemerintahan Aceh sehingga tidak tunduk kepada hukum yang berlaku nasional. dalam qanun tersebut dijelaskan pelaksanaan pemilihan digunakan cara pencoblosan di TPS dengan surat suara menggunakan kertas. Sehingga ini masih menggunakan metode pemilihan yang manual.
Metode pemungutan suara yang masih menggunakan cara manual itu sudah tidak relevan lagi untuk masa saat ini dengan perkembangan teknologi yang pesat yang dapat mendapat mempermudah dan dapat membuat suara masyarakat lebih terjaga. Secara konkrit dalam masa pandemi Covid 19 yang di alami Kota Banda Aceh saat ini sudah seharusnya metode pemungutan suara dalam pemilihan keuchik dilakukan dengan cara e-voting. Karena itu dapat mencegah penularan Covid 19 dan mencegah terjadinya pelanggaran protokoler kesehatan yang dibentuk pemerintah.
Oleh karena itu, sudah saatnya dilakukan perubahan atau revisi terhadap Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik di Aceh. Dengan pandemi Covid 19 adalah momen yang tepat menerapkan e-voting. Agar dapat digunakan e-voting ini maka dimulai dengan diajukannya perubahan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik di Aceh dalam Prolegda Aceh oleh DPRA. Dengan dilakukan perubahan tersebut diharapkan dibukanya keran dapat dilaksanakannya pemungutan suara secara e-voting.
Secara nasional, pemungutan suara menggunakan e voting telah diterapkan dan tidak bertentangan secara hukum. Secara yuridis e-voting digunakan berawal dari pemberlakukan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menjelaskan bahwa “Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi”.
Selanjutnya pada Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 147/PUU-VII/2009 tanggal 30 Maret 2010, memutuskan bahwa ”Mencoblos /mencentang dapat juga diartikan dengan menggunakan metode evoting (sentuh panel komputer/peralatan elektronik voting) dengan syarat kumulatif sebagai berikut : “Tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; Daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan”.
Penggunaan e-voting juga diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Waikota Menjadi Undang-Undang. Dalam Pasal 85 dijelaskan bahwa pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan memberikan suara melalui Pemilihan suara secara elektronik dengan mempertimbangkan kesiapan Pemerintah Daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah.
Dari penjelasan tersebut, secara nasional hukum terus berkembang dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, Aceh seharusnya juga harus mengikuti perkembangan itu, sehingga kekuatan Aceh sebagai daerah yang khusus dan istimewa tidak ketinggalan dari perkembangan zaman. Seharusnya dengan kekhususan yang dimiliki oleh Aceh, Aceh sudah harus lebih berkembang bukan malah kita ketinggalan dari daerah lain yang ada di Indonesia.
Penulis : Dr. Musriadi, S.Pd., M.Pd Ketua Komisi I DPRK Banda Aceh