Panggung Museum Tsunami Ada Keributan karena Batal Nikah

Banda Aceh – Keributan antara warga di tengah perhelatan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-7 Aceh, terjadi di Museum Tsunami, Banda Aceh (7/8/2018).

Usut punya usut, pertikaian antara dua keluarga yang diketahui berasal dari Kota Subulussalam itu, disebabkan karena gagalnya proses pernikahan anak keduanya. Di mana sebelumnya, kedua keluarga telah bersepakat untuk menikahi anaknya dengan tempo 3 bulan.

Namun, di tengah perjalanan si perempuan dikatakan kabur dan menikah dengan orang lain.

“Jadi, sebelum 3 bulan, satu pihak dari perempuan dilarikan oleh orang lain,” kata Kepala Gampong, Muhammad Na’em Limbong yang saat itu ada di lokasi.

Hal itulah yang menyebabkan perselisihan antara keduanya. Pihak laki-laki yang merasa dirugikan karena telah memberi uang sebesar Rp 30 juta, menuntut pengembalian uang dan menganggap itu utang.

Berhubung kedua pihak saat ini sedang di Banda Aceh, maka para pemangku adat Kota Subulussalam mempertemukan keduanya. Sebab sebelumnya keduanya telah membuat perjanjian saat awal pertunangan.

“Apabila salah satu di antara kedua belah pihak mendahului kesalahan dan dikenakan denda membayar setengah daripada harga yang tercantum dalam surat perjanjian tersebut,” ujarnya.

Meski ketegangan sempat mewarnai, namun beberapa saat kemudian suasana langsung berubah usai pemangku adat menengahi keduanya. Tangisan haru dan saling memaafkan pun terlihat sehingga menarik perhatian para pengunjung museum, baik wisatawan lokal maupun mancanegara yang sudah di lokasi sejak tadi.

Begitulah suasana lomba Peudame Ureng yang merupakan salah satu cabang budaya diperlombakan pada event PKA ke-7.

Ketua Panitia Lomba Prosesi Adat, T Raja Zulkarnain alias Raja Nagan, mengatakan, lomba cara mendamaikan orang ini merupakan salah satu budaya yang dimiliki oleh Aceh sejak masa lalu.

Di lomba ini, para peserta dari masing-masing daerah diminta untuk menunjukkan bagaimana cara mendamaikan kedua kubu yang berseteru dengan menggunakan adat daerah. Misalnya permasalahan pernikahan, sengketa tanah, perkelahian pemuda, dan lain sebagainya.

Raja Nagan menjelaskan, penyelesaian masalah dengan cara adat terasa lebih damai dibandingkan dengan hukum pidana atau penjara.

“Sebab kalau orang lepas dari penjara, bisa timbul dendam. Sementara kalau yang di kampung begitu makan bersama (kenduri peudame ureng) sudah saling bersilaturahmi, nah ini perlu dipertahankan,” jelasnya.

Sementara itu Ketua Bidang Pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Rahmadhani mengatakan, lomba Peudame Ureung (Mendamaikan yang berselisih) ini bagian dari melestarikan adat yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat.

“Kita memang ada adat Peudame Ureung, bila ada terjadi perselesihan, seperti pada lomba sekarang bagian dari melestarikan sengketa yang ada,” kata Rahmadhani.

Rahmadhani berharap, tradisi Peudame Ureung di tengah-teungah masyarakat bisa terus dirawat dengan baik. Sehingga setiap perselisihan yang terjadi di masyarakat bisa diselesaikan dengan baik.

“Kami mengajak semua untuk berkunjung ke PKA VII, ada banyak kegiatan adat dan budaya yang bisa dilihat,” tutupnya.

Facebook Comments